Sistem Peradilan Pidana dan Lembaga Pemasyarakatan Di Tengah Pandemi Corona
Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.
Penulis buku “Hukum dan Daulat Rakyat Sebuah Ironi”
Secara harfiah, sistem peradilan pidana dapat diterjemahkan dari dua kata yakni sistem dan peradilan pidana. Sistem memiliki pengertian sebagai sebuah rangkaian yang terdiri dari beberapa sub-sistem yang bekerja satu sama lain (terkait) untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan peradilan pidana memiliki pengertian sebagai sebuah proses penyelesaian perkara pidana. Jika disatukan secara utuh, maka pengertian sistem peradilan adalah sebuah rangkaian sistem untuk memproses penyelesaian perkara pidana.
Secara historis. Sistem peradilan pidana pertama kali lahir dan diperkenalkan oleh para pakar hukum pidana di Amerika Serikat sekitar tahun 1960. Lahirnya sistem peradilan pidana sendiri dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur dan institusi penegak hukum, yang terbukti tidak mampu menekan angka kriminalitas di Amerika Serikat.
Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Menurut Prof. Muladi, tujuan dari sistem peradilan pidana dapat dikategorikan dalam 3 tataran yakni jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dari sistem peradilan pidana adalah resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana. Sedangkan tujuan jangka menengah yang hendak dicapai adalah pengendalian dan pencegahan kriminalitas. Dan terakhir jangka panjang, tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Mardjono Reksodipoetro menerjemahkan tujuan dari sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisisan, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan demi tegaknya hukum dan keadilan, serta mengusahakan para pelaku kejahatan agar menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Konkretnya, sistem peradilan pidana merupakan sebuah mekanisme yang memiliki tujuan agar tindak pidana atau kriminalitas dapat terkendali dalam batas yang wajar sehingga tidak mengganggu stabilitas dan eksistensi negara dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan negara, termasuk diantaranya, mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Arti Penting Lembaga Pemasyarakatan
Secagai sebuah sistem, maka keberhasilan dari tujuan sistem peradilan pidana akan sangat tergantung dari optimalisasi fungsi dari masing-masing sub-sistem yakni fungsi kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), fungsi kejaksaan (penuntunan), fungsi pengadilan (vonis), dan fungsi lembaga pemasyarakatan (pemasyarakatan). Dapat disimplifikasikan bahwa masing-masing sub-sistem pada prinsipnya memiliki peran penting dalam menunjang keberhasilan sistem peradilan pidana.
Dalam sistem peradilan pidana terdapat tiga tataran yang bekerja yakni input, proses, dan output. Input adalah masuknya sebuah perkara tindak pidana baik melalui laporan dan pengaduan di kepolisian. Proses adalah bekerjanya fungsi-fungsi sub-sistem peradilan pidana. Output adalah hasil yang diperoleh dari bekerjanya fungsi-fungsi dari masing-masing sub-sistem peradilan pidana.
Pada tataran output inilah fungsi sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan akan menjadi penentu hasil (output) dari bekerjanya sistem peradilan pidana. Lembaga Pemasyarakatan adalah sub-sistem terakhir dari sistem peradilan pidana yang menjadi tempat melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan.
Fungsi dari lembaga pemasyarakatan adalah melakukan pembinaan kepada warga binaan pemasyarakatan agar mereka bisa menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, tidak mengulangi melakukan tindak pidana, dan dapat diterima kembali oleh masyarakat untuk berkontribusi positif dalam pembangunan.
Sayangnya, secara empirik optimalisasi fungsi Lembaga Pemasyarakatan seringkali terkendala oleh beberapa hambatan. Pertama, mengenai overweight kapasitas sel di lembaga pemasyarakatan. Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, penghuni lapas pada Mei 2019 berjumlah 265.574 orang dari kapasitas 126.963 orang.
Fenomena ini membuat banyak lapas di Indonesia penuh sesak. Overweight ini menyebabkan lapas tidak bisa berfungsi secara optimal sebagai tempat pemasyarakatan yang ideal dan berkemanusiaan. Realitas ini yang menyebabkan lapas justru mengejawantah sebagai sekolah bagi penjahat.
Kedua, soal integritas dari petugas/pejabat lapas di mana narapidana kerah putih seringkali mendapat previlege-previlege sehingga fungsi pembinaan tidak dapat optimal. Gayus Tambunan dan Freddy Budiman adalah salah dua contoh narapidana yang pernah mendapatkan previlege di Lapas. Logikanya, bagaimana bisa mendapatkan efek jera dan menyadari kesalahannya kalau di penjara saja, mereka tetap bisa hidup nyaman seperti tinggal di hotel bintang 5.
Solusi Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan
Solusi optimalisasi fungsi lapas menurut saya. Pertama, mengurangi overweight kapasitas lapas, bisa melalui penambahan jumlah lapas, namun tentu hal ini akan berimbas pada membengkaknya anggaran ekonomi atau melakukan perubahan arah penyelesaian perkara pidana ke arah restorative justice melalui sarana legislasi (perubahan substansi hukum, ex: KUHP) guna menekan jumlah narapidana. Kedua, meningkatkan pengawasan terhadap lapas agar lapas dapat berfungsi secara optimal. Pengawasan di sini baik dalam konteks preventif maupun represif dengan intensitas dan masifisitas yang optimal.
Hanya dengan memiliki lembaga pemasyarakatan yang fungsional dan optimal dalam ‘merestorasi’ para narapidana, kita dapat optimis melihat masa depan yang cerah bagi penegakan hukum pidana kita. Lembaga pemasyarakatan merupakan sub-sistem krusial dari sistem peradilan pidana yang sangat menentukan keberhasilan dari tujuan-tujuan sistem peradilan pidana itu sendiri.
Menurut hemat saya, keberhasilan penegakan hukum pidana sendiri tidak diukur dari seberapa banyak orang bersalah yang masuk dazlam lembaga pemasyarakatan, tetapi dilihat dari semakin sedikitnya tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Penegakan Hukum dan Pandemi Corona
Grafik corona di Indonesia terus mengalami peningkatan tajam saban hari. Menurut data dari covid19.go.id hingga tanggal 28 Juli 2020, terdapat 102.051 orang terkonfirmasi positif virus corona, 60.539 sembuh, dan 4.901 meninggal dunia. Dan tidak menutup kemungkinan, grafik corona di Indonesia akan terus mengalami peningkatan kedepannya, mengingat belum adanya tanda-tanda positif melandainya grafik persebaran corona.
Ditengah pandemi corona, salah satu aspek penting dimensi negara adalah penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan bagian dari social defence yang berfungsi untuk memastikan bahwa ruang sosial dapat mawujud keserasian dan keharmonisan sebagai basis sosial mewujudkan tujuan-tujuan negara sebagaimana amanat konstitusi.
Penegakan hukum ditengah pandemi corona bagaimanapun harus tetap berjalan agar keamanan, ketertiban, dan kohesifitas ruang sosial dapat terjaga. Hanya saja, diperlukan treatments dan orientasi yang berbeda dalam pelaksanaan penegakan hukum. Ditengah pandemi corona, treatments dan orientasi dalam penegakan hukum harus diletakkan dalam bingkai restorative justice sekaligus meletakkan hukum pidana kembali pada khitahnya sebagai ultimum remedium.
Restorative justice adalah penegakan hukum atau penyelesaian perkara pidana yang melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak terkait, dengan tujuan untuk mencapai keadilan dan keseimbangan bagi semua pihak serta tidak mengutamakan aspek hukum pidana (penghukuman).
Ada dua alasan mengapa penegakan hukum ditengah pandemi corona harus diletakkan dalam pendekatan restorative justice. Pertama, menghindari penumpukan tahanan di rutan dan narapidana di lembaga pemasyarakatan yang sudah over crowded. Hal ini tentunya juga merupakan langkah preventif agar tidak tercipta klaster baru persebaran virus corona.
Kedua, substansi hukum Indonesia sudah memiliki basis yuridis yang mengakomodasi pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana. Di tingkat kepolisian, ada Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penyidikan Tindak Pidana (tentu dengan syarat formil dan syarat materil tertentu). Di tingkat kejaksaan, ada Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Maka dari itu, pendekatan restoratif dalam penegakan hukum ditengah pandemi corona harus menjadi orientasi utama para penegak hukum sepanjang obyek perkara telah memenuhi aspek formal dan material untuk diselesaikan dengan pendekatan restorative justice.
Ditengah pandemi corona, penegakan hukum terus bekerja sebagai sarana perlindungan dan ketertiban masyarakat. Namun, arah orientasi dan treatments dalam penegakan hukum harus berbeda mengingat kondisi dan urgensi keadaan.
Sebisa mungkin pendekatan restorative justice dikedepankan dalam proses penyelesaian perkara. Hal ini penting sebagai sarana mengurangi over crowded dari pada rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan, mencegah penyebaran virus corona, dan memberikan keadilan substantif dengan penekanan pada terpulihnya (restoratif) kembali keadaan tanpa menghilangkan tanggungjawab pelaku tindak pidana.