Ketidakpastian Hukum Jadi Sorotan di Tengah Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP
NAMA : AHMAD MUJAHID ALGHIFAHRY
NIM : 5122511078
KELAS : ILMU POLITIK C
DOSEN : WILDA AFRIANI S.S, M.PD.
Di tengah upaya pembaruan regulasi hukum nasional, sejumlah pakar menyoroti ketidakpastian hukum yang muncul akibat revisi pada Undang‑Undang Kejaksaan dan Undang‑Undang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Revisi ini dinilai penting, namun pelaksanaan dan kerangka regulasi ke depan dipandang belum cukup matang, sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan akademisi dan praktisi hukum.
Menurut R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), kewenangan jaksa dalam menangani tindak pidana tertentu menjadi sebuah persoalan. “Kasus pagar laut Tangerang dan kasus timah adalah dua contoh ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh kewenangan berlebih jaksa,” ujarnya.
Lebih lanjut, dosen hukum pidana dari Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson, dalam sebuah diskusi mengemukakan bahwa KUHAP sebagai hukum formil belum sepenuhnya menyesuaikan dengan regulasi materiil terbaru, yaitu Undang‑Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, yang mulai berlaku 2 Januari 2026. Menurutnya, tanpa pembaruan KUHAP, regulasi acara pidana bisa menjadi kurang relevan dan berpotensi menghambat penegakan hukum.
Survei dari Kompas Research and Survey juga menunjukkan hal yang mengkhawatirkan: tingkat kepuasan masyarakat terhadap penegakan hukum dalam aspek penuntasan kasus hanya 56,1 persen, sementara aspek pemberantasan suap dan jual-beli perkara berada jauh di bawah angka 50 persen.
Mengapa penting?
Pembaruan regulasi seperti UU Kejaksaan dan KUHAP sangat krusial untuk memperkuat sistem peradilan di Indonesia. Namun, jika revisi dilakukan tanpa kejelasan implementasi atau pengaturan yang memadai, maka justru bisa memunculkan kebingungan dalam praktik penegakan hukum. Hal ini akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap lembaga hukum.
Tantangan ke depan:
Memastikan bahwa revisi KUHAP dan UU Kejaksaan dirumuskan secara komprehensif, termasuk pengaturan yang jelas tentang wewenang penyidikan, penuntutan, hak tersangka/terdakwa, hak saksi, serta mekanisme pengawasan internal penegak hukum.
Memperkuat transparansi dan akuntabilitas lembaga penegak hukum agar publik dapat melihat bahwa regulasi yang baru bukan sekadar perubahan nomenklatur, tetapi juga peningkatan kualitas penegakan hukum.
Melakukan sosialisasi yang luas ke publik dan aparat penegak hukum terkait perubahan regulasi, sehingga implementasi di lapangan dapat berjalan dengan pengertian yang sama.
Kesimpulan
Dapat dikatakan bahwa tahun 2025 menjadi momentum penting bagi sistem penegakan hukum di Indonesia. Seperti yang diungkap oleh advokat senior Jhon S. E. Panggabean, “2025 harus menjadi momen untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada lembaga penegak hukum.” Tanpa kejelasan dan langkah nyata dalam revisi regulasi, maka tujuan tersebut bisa sulit tercapai. Oleh karena itu, perhatian dari berbagai pihak mulai pemerintah, lembaga penegak hukum, akademisi, hingga masyarakat sipil, hal tersebut sangatlah penting.