Stigma Streotipikal Masyarakat Terhadap Wibu
Ayu Zakia Wulandari
Mahasiswa Universitas Jambi
TerabasNews – Di era digital saat ini, fenomena budaya pop jepang,termasuk anime dan manga,telah merambah keseluruh dunia,termasuk Indonesia.Di tengah popularitasnya,muncul stigma streotipikal yang melekat pada para penggemar, atau yang biasa disebut “wibu”.Istilah ini sering kali digunakan dengan nada merendahkan untuk menggambarkan individu yang memiliki ketertarikan berlebihan terhadap budaya Jepang, terutama anime dan manga.Namun,stigma ini perlu dianalisa lebih dalam untuk memahami dampaknya terhadap individu dan masyarakat.
Tearm wibu memang belum resmi terdaftar dalam entri baru Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tapi bagi masyarakat yang aktif berselancar dimedia social, term ini sudah popular dan familiar.Wibu adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, weeabo yang secara garis besar merujuk pada orang yang terobsesi pada pop culture Jepang, terutama manga dan anime.Hal itu membuat mereka bertingkah seperti orang Jepang itu sendiri.Istilah ini pertama kali diperkenalkan Nicholas Gurewitch melalui salah satu komiknya yang berjudul Perry Bible Fellowship.Istilah ini kemudian diserap dan menggantikan Wapanese,istilah lama yang bermakna sama dengan wibu.
Terus terang,umur saya berkecimpung dalam dunia otaku bisa terbilang cukup lama, bahkan dari umur saya 8 tahun.Walaupun begitu, mudah bagi saya untuk mengidentifikasi bagaimana perfektif masyarakat terhadap wibu.Istilah wibu dan otaku, terutama wibu,sering kali di cap kali disandingkan dengan label malas, anti social, kurang pergaulan, dan bahkan – maaf –sampah masyarakat, serta beragam ciri negatif lainnya yang bisa anda temukan di internet, artikel, serta yang paling mudah ditemukan yaitu kolom komentar media sosial.
Tentu,pendapat yang demikian sah dan boleh-boleh saja dikemukakan, toh Indonesia adalah Negara demokratis yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.Bahkan saya juga sudah mewawancarai salah satu narasumber yang merupakan otaku itu sendiri, sewaktu saya menanyakan kepadanya bagaimana pendapatnya tentang Stigma Streotipikal masyarakat terhadap wibu,beliau menjawab “untuk pandangan masyarakat ini karena stereotip yang negative karena wibu ini identik dengan anti social,terus meraka juga kebanyakan aneh seperti membawa dakimakura keacara-acara,tetapi mungkin di Indonesia belum ada”.Sewaktu saya menanyakan dampaknya wibu itu lebih kearah positif atau negative beliau menjawab “kalau untuk saya sendiri positif, didalam anime itu kan kita sendiri bisa belajar banyak hal seperti kekeluargaan atau pertemanan dan hal-hal lain. Kita juga bisa paham tentang sains, sejarah, royal family bahkan tentang militer pun bisa kita pelajari dari anime”.Dan sewaktu saya bertanya haruskah kita melanjutkan hobi kita,sebenarnya jawaban beliau sudah saya duga dari awal, karena beliau menjawab “untuk melanjutkan hobi kita sih boleh-boleh saja,asalkan kita bisa membatasi diri,jangan berlebihan seperti yang saya bilang tadi jangan membawa dakimakura dan seperti berbicara dalam bahasa jepang karena itu berlebihan,dan itu akan dianggap aneh dengan masyarakat sekitar,itulah yang menyebabkan stereotip negative masyarakat”.
Pertanyaan terakhir saya yaitu, adakah saran untuk masyarakat yang sering bilang wibu atau otaku itu malas dan tidak berguna, jawaban beliau membuat saya percaya jika wibu atau otaku itu lebih berpandangan terbuka (open mind) terhadap setiap kritikan dari masyarakat. “sebenarnya tidak semua, karena seperti yang kita tahu setiap individu itu memiliki kemampuan yang berbeda-beda, jika dilihat dari hobi saja itu jelas merupakan cara pandang yang salah,apalagi sekarang banyak ublik figure yang hobinya menonton anime gitu”.
Term wibu dan otaku kerap tertukar dan pada akhirnya banyak dipandang sama oleh orang awam, padahal keduanya punya perbedaan besar.Otaku adalah orang yang punya satu kegemaran khusus terhadap culture Jepang, sedangkan wibu adalah orang yang punya obsesi berlebihan pada segala hal yang terkait Jepang.
Stigma bisa disebabkan karena kurangnya edukasi seperti, banyak orang tidak memahami apa itu wibu dan menganggapnya sebagai prilaku menyimpang.Ketidaktahuan ini dapat menciptakan ruang bagi streotip negative untuk berkembang.Selain kurangnya edukasi stigma bisa disebabkan karena pengarh media massa, yaitu representasi buruk di media tentang penggemar anime dan manga sering kali memperkuat pandangan negative masyarakat.Ketika media menampilakan wibu sebagai sosok yang esentrik atau tidak realistis, hal ini semakain memperkuat stigma.Dan penyebab terakhir stigma adalah karena norma social, karena dalam masyarakat yang menjunjung tinggi norma-norma tertentu, individu yang berbeda dari norma tersebut sering kali jadi sasaran stigma.Wibu dianggap menyimpang dari norma social karena ketertarikan mereka yang mendalam terhadap budaya asing.
Bagi saya dampak dari menjadi wibu dan otaku itu sendiri ada sisi positif dan negative, untuk sisi positifnya bisa kita ambil dari saat kita wawancara narasumber tadi, tetapi bagi saya sendiri sisi positifnya bisa membantu saya mengerjakan aktivitas seperti, mengerjakan pekerjaan rumah, dan bisa juga untuk mengisi waktu luang, bahkan terkadang bisa menghilangkan stress yang menumpuk.Sedangkan untuk sisi negatifnya beberapa sudah disebutkan pada saat kita mewawancarai narasumber tadi, dan untuk saya sendiri sisi negatifnya yaitu, sering lupa waktu, sering bergadang, dan yang paling parah sampai tidak bisa membedakan yang nyata denga yang tidak nyata.Setelah mengemukakan opini demikian,satu pertanyaan pun muncul:mengapa kita mudah sekali menghakimi?
Profesor Otto Scharmer, penulis buku Theory U:Leading from the Future as it Emerges, menyebutkan tiga komponen yang kurang lebih menjawab pertanyaan tersebut, yaitu voice of judgement,voice of cynism, dan voice of fear.Komponen pertama, voice of judgement, membuat kita terjebak dalam wawasan yang sempit dan cenderung memaksakan sudut pandang kita sendiri dengan baying-bayang seolah kita tengah berfikir kritis, padahal aslinya judgemental. Selanjutnya, voice of cynism, membuat kita menciptakan sentiment negative dengan penolakan terhadap kelompok atau individu yang berbeda dengan pendapat kita, seolah pendapat kita adalah satu-satunya kebenaran mutlak yang harus diikuti semua orang. Terakhir,voice of fear, membuat kita takut berinteraksi secara terbuka pada sesuatu yang asing dan baru dengan kita, mirip dengan gejala xenophobia. Tiga unsur memblokade diri kita untuk berfikir terbuka, dan akhirnya menyebabkan kita amat mudah melempar penilaian,bahkan meski tidak mengerti dengan baik apa yang kita nilai.Saya pribadi setuju dengan pendapat Schamer tentang tiga suara ini, karena selain kredibel, ia juga masuk akal. Akan tetapi, bagaimana dengan solusi yang ia tawarkan?
Profesor Schammer mempunyai ide membuka pikiran (open mind), membuka hari (open heart), dan memperbesar tekad (open will) untuk mengatasi tiga aspek diatas, dan pendapat saya akan sedikit melengkapi ide tersebut.Benar, tiga “resep” itu efektif dan sudah diakui oleh para pakar,termasuk psikolog yang juga merupakan putri sulung Gus Dur, Ning Alissa Wahid. Namun, dalam opini saya, ketiga “resep” itu harus dibarengi dengan satu hal penting:literasi.
SARAN
Untuk mengatasi stigma terhadap wibu, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman tentang sub culture ini. Edukasi melalui seminar, diskusi terbuka, dan kampanye media dapat membantu mengubah persepsi negative menjadi lebih positif. Masyarakat perlu diajak untuk melihat bahwa ketertarikan terhadap budaya Jepang bukanlah sesuatu yang perlu dicemoohka, melainkan dari keberagaman budaya.
KESIMPULAN
Stigma streotipikal terhadap wibu menunjukan betapa pentingnya pemahaman dan toleransi dalam masyarakat multicultural.Dengan mengedukasi diri sendiri dan orang lain tentang keberagaman minat dan budaya, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi semua individu. Mengurangi stigma bukan hanya tugas para wibu, itu adalah tanggung jawab kolektif kita sebagai masyarakat untuk saling menghargai perbedaan dan menghormati setiap individu tanpa memandang latar belakang minat mereka.
Saya berharap opini singkat ini dapat sedikit membenahi stigma stereotipikal masyarakat tentang komunitas wibu maupun otaku. Saya sama sekali tak berniat memaksa, atau mendikte bahwa wibu dan otaku adalah komunitas yang harus dicintai khalayak umum. Jika setelah membaca opini ini, dan benar-benar telah tahu apa itu wibu dan otaku, tetapi masyarakat masih berhasrat memberinya ciri negative, tentu itu sah-sah saja, karena sejatinya keputusan akhir tetap berada ditangan massa. Opini ini sekedar upaya agar sekalipun itu tidak mencederai akal sehat kita sendiri. (**)