Masyarakat Cyber dan Masyarakat Hipperrealitas Dalam Perspektif Jean Baudrillard (analisis pada masyarakat digital dan hipperrealitas)
Oleh : Ahmad Nazriansyah, Universitas Bangka Belitung
Meta transformasi digital membawa perubahan besar-besaran terhadap pola perilaku masyarakat, organisasi, bisnis dan semua bidang di lini kehidupan masyarakat yang bermetamorfosis berbasis teknologi digital. Teknologi digital masih terus berubah dan berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu hingga saat ini. Metamorfosis teknologi digital dapat terjadi dalam berbagai bidang seperti komunikasi, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan sektor kehidupan lainnya. Salah satu contoh yang paling dekat dengan keseharian manusia adalah pada bidang komunikasi. Perkembangan teknologi komunikasi dari telepon kabel menjadi telepon seluler, kemudian berkembang lagi menjadi smartphone seperti saat ini telah mengubah cara berinteraksi di kehidupan masyarakat. Jauh sebelum itu masyarakat masih cenderung berinteraksi secara face to face atau berinteraksi secara langsung supaya olah rasa yang disampaikan dalam proses interaksi tersebut lebih terasa.
Keterbukaan informasi dan komunikasi yang bisa diakses oleh siapa pun dari semua kalangan masyarakat tanpa batasan usia selagi masih bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi memiliki tantangan tersendiri yang lambat laun menjadi permasalahan sosial yang serius di tatanan pola kehidupan masyarakat cyber atau lebih dikenal dengan sebutan masyarakat digital. Masyarakat cyber memiliki permasalahan sosial yang unik dan berkaitan dengan teknologi digital. Beberapa masalah sosial dan patologi yang terjadi dalam masyarakat cyber antara lain :
1. Kecanduan media sosial : media sosial telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia di era digital. Pengguna jejaring media sosial meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir dan diperkirakan akan terus merangkak naik ditahun yang akan datang. Pengguna aktif media sosial menurut Datareportal pada tahun 2021 ada lebih dari 4,2 miliar pengguna aktif media sosial atau hampir 54% populasi global, rata – rata pengguna media sosial menghabiskan waktu hampir 2,5 jam per hari. Artinya jika diakumulasikan dalam seminggu sekitar 17,5 jam waktu yang dihabiskan dalam mengakses media sosial. Hal ini menjadi salah satu bukti bentuk kecanduan manusia terhadap teknologi digital
2. Membentuk perilaku yang tidak normatif : dalam masyarakat cyber anonimitas membuat beberapa orang cenderung untuk berperilaku tidak etis seperti melakukan tindak kejahatan, intimidasi, pelecehan seksual, cyber bullying, dan penipuan Online yang saat ini marak terjadi yang mengatasnamakan instansi pemerintahan ataupun perusahaan tertentu dengan metode phishing yang dilakukan dengan cara membuat situs web atau email palsu untuk mencuri informasi pribadi dan keuangan korban.
3. Munculnya budaya hedonisme di kalangan kelas atas : baru-baru ini marak terjadi flexing alias memamerkan harta di media sosial yang dilakukan beberapa orang yang notabene merupakan pejabat atau pemangku kepentingan di negara ini, hal ini menjadi perhatian serius bagi masyarakat Indonesia khususnya dari mana mereka memperoleh harta dan kemewahan yang didapatkan lalu dipamerkan di media sosial. Hingga pada akhirnya banyak dari sebagian pejabat yang dicopot dari jabatannya dan terjerat kasus korupsi dan lain sebagainya.
Menurut perspektif Jean Baudrillard terhadap perkembangan pola perilaku masyarakat digital dengan menggunakan teori simulakra. Simulakra merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Jean Baudrillard dalam karyanya yang berjudul “Simulacra and Simulation” pada tahun 1981. Simulakra adalah istilah yang merujuk pada sebuah representasi atau citra yang tidak memiliki kaitan dengan realitas asli atau objek yang diwakilkan , sedangkan hipperrealitas dunia yang direpresentasikan melalui media massa seperti televisi, film, media sosial, dan lainnya dianggap sebagai realitas itu sendiri. Menurut Baudrillard, simulakra merupakan suatu tanda yang menggantikan realitas itu sendiri, sehingga menghilangkan makna dan nilai yang terkandung dalam realitas tersebut. dalam konteks ini simulakra sama halnya dengan kata “palsu” atau “ kosong” karena tidak memiliki referensi nyata atau dasar yang kuat.
Konsep simulakra dengan masyarakat cyber memiliki korelasi yang sangat erat karena teknologi dan media digital menjadi sarana utama dalam menciptakan simulakra di era digital ini. Di era masyarakat cyber penggunaan media sosial, aplikasi digital, dan teknologi virtual semakin meningkat, sehingga citra- citra semacam avatar, identitas virtual, dan gambar-gambar yang diproduksi dan di komsumsi di dunia maya semakin menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini masyarakat cyber terus – menerus berinteraksi dan menciptakan citra- citra yang tidak memiliki kaitannya dengan realitas yang sebenarnya.
Dalam kemajuan era tekonologi komunikasi saat ini, konten hipperrealitas sering kali dibuat melalui filter atau hasil editing yang memperkuat kesan visual yang membuatnya jauh lebih menarik dan atraktif dibandingkan dengan realitas yang sebenarnya. Contoh gambar ataupun foto yang diunggah melalui platform media sosial dapat dimanipulasi melalui filter, efek, dan lainnya untuk membuat lebih menarik dan menggoda untuk dilihat. Baudrillard juga mengemukakan bahwa semakin berkembangnya teknologi dan media, batasan antara realitas dan simulakra semakin kabur, sehingga sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar nyata atau apa yang hanya representasi semata yang disebut hipperrealitas.
Selain itu, kecenderungan untuk terus menghabiskan waktu didunia maya juga dapat memicu pembentukan simulakra, karena penggunaan media sosial dan teknologi digital dapat mengubah persepsi orang tentang realitas sebenarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam cyber istilah yang diperkenalkan Jean Baudrillard semakin menjadi relevan dalam kehidupan realitas sosial masyarakat saat ini, karena penggunaan teknologi digital dan media sosial memungkinkan representasi yang tidak memiliki dengan kenyataan asli untuk berkembang dan menyebar dengan cepat. Oleh karena itu penting untuk masyarakat cyber untuk menyadari bahaya dari pembentukan simulakra dan memperhatikan kembali kaitannya dengan realitas yang sebenarnya.
Menilik dan memperhatikan dari semua realitas yang terjadi saat ini, mengkampanyekan dan mengharuskan semua elemen dan kalangan yang ada dimasyarakat untuk pandai dalam berinteraksi ataupun berselancar di dunia digital, karena semakin maju perkembangan teknologi digital saat ini semakin banyak celah untuk meluncurkan aksi-aksi abnormal seperti tindakan kejahatan berupa hacking yang merugikan pengguna media sosial, serta pandai dalam mengolah dan memfilter informasi yang didapatkan supaya terhindar dari UU ITE dalam menyebarkan informasi yang palsu atau hoaks yang dapat menimbulkan keresahan dan kericuhan yang ada di tengah masyarakat. Saling menjaga dan mengingatkan satu yang lainnya agar terhindar dan tidak melakukan tindakan- tindakan yang tak etis seperti cyber bullying, intimidasi, dan penyerangan netizen terhadap objek yang melakukan kesalahan sehingga membuat korban mengalami depresi dan tekanan mental, menjaga ketikan dan atitude di dunia digital pun sangat diperlukan dalam konteks ini.