Pemberitaan Pers Mesti Perhatikan Hak dan Batasan Privasi
Farin Alfarizi Hasbi
Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
TerabasNews – Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tentu membutuhkan manusia lainnya. Ini adalah sifat alamiah dari manusia yang tidak bisa hidup seorang diri, selalu membutuhkan individu lain dalam hidupnya namun tetap ada batasannya. Ada hak dari individu untuk membangun dinding pembatas dirinya sendiri terhadap orang lain sebagai ruang bebasnya individu yang dikenal dengan privasi.
Jadi apa itu sebenarnya hak privasi? Privasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna sebagai kebebasan dan keleluasaan pribadi. Dan hak adalah milik, kepunyaan, kekuasaan atau wewenang menurut hukum. Dapat disimpulkan bahwa hak privasi ialah keinginan kita untuk menciptakan suatu ruang kebebasan diri dengan menggunakan kuasa atau kontrol atas dirinya sendiri.
Contoh mudah dalam kehidupan sehari-hari adalah saat seorang individu menutup dan mengunci pintu kamarnya atau memfokuskan diri pada suatu pekerjaan yang harus diselesaikannya. Hal yang dilakukan oleh individu itu membuat hambatan dari luar tidak dapat tembus ke dalam individu tersebut. Sedangkan dalam dunia kejurnalistikan privasi ini tercakup dalam informasi yang bersifat pribadi dan rahasia dari narasumber. Informasi yang bersifat pribadi bisa menyangkut persoalan kehidupan rumah tangga, agama, penyakit, kematian dan kelahiran.
Pers terkadang melanggar kehidupan pribadi dan hak privasi dari seseorang (subjek pemberitaan). Seperti misalnya saat peliputan orang tua almarhumah dari Vanessa Angel pasca pengebumiannya. Pada akhir tahun 2021, media di Indonesia sangat gencar untuk memberitakan hal tersebut hingga ruang privasi tidak didapatkan dari keluarga mendiang Vanessa Angel yang sedang berkabung. Pertanyaan yang dilontarkan oleh jurnalis pun seperti “bagaimana perasaan ibu\bapak atas meninggalnya putri ibu\bapak?.” Dalam situasi berduka, hadirnya pertanyaan semacam itu adalah keputusan yang kurang tepat.
Memang publik membutuhkan informasi, tapi apakah tidak ada waktu lain untuk mewawancarai narasumber? Dimana empati ataupun sikap menghargai ruang atau batasan privasi orang dari seorang jurnalis? Seharusnya wartawan atau jurnalis mampu menerapkan konsep etika dari jurnalisme dalam pelaksanaan pewawancaraan atau mengumpulkan data hingga menyiarkannya.
Senada dengan itu, media kerap juga memberitakan penyakit dari tokoh publik dan nekat untuk masuk ke rumah sakit langsung demi menggali informasi. Ini adalah contoh bentuk bukti pers abai dengan batasan-batasan privasi atau kehidupan pribadi narasumber/subjek pemberitaannya. Sama halnya dengan tim program acara suatu televisi yang mengambil gambar saat razia di hotel, identitas dari para individu yang dirazia semestinya tak boleh disiarkan. Mungkin dalam ranah hukum mereka yang sedang dirazia telah melakukan pelanggaran hukum, namun dalam sisi jurnalistik mereka melakukan apa yang mereka inginkan dan itu hak privasi para insan tersebut.
Pers harus punya persetujuan atau perizinan terhadap tempat-tempat tertentu yang penuh privasi. Wilayah yang penuh privasi (wilayah privat) itu seperti, rumah sakit, hotel dan rumah pribadi. Jikalaupun ada individu melakukan hal privat di tempat umum, pers juga tidak bisa memberitakannya secara blak-blakan.
Peristiwa yang telah terjadi boleh dijadikan bahan untuk pemberitaan, tapi tetap menjaga kerahasiaan identitas orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Lain hal jika ada individu yang melakukan pelanggaran hukum dan merugikan publik. Dengan pemberitaan yang dirasa berlebihan dan tidak ada keterkaitan atau hubungan untuk kepentingan publik maka hal itu tidak diwajarkan sama sekali di pers. Ada etika untuk menghargai privasi dari kehidupan pribadi seseorang yang harusnya dilakukan oleh wartawan.
Padahal sudah tercantum pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) bahwa pers harusnya menjaga batasan ataupun hak privasi. Tepatnya pada pasal 2 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menyatakan bahwasanya “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”. Walaupun tidak secara tersurat dinyatakan dalam KEJ, akan tetapi dalam frasa cara-cara profesional dapat ditafsirkan salah satunya ialah menghargai dan menghormati hak privasi subjek pemberitaan.
Pelanggaran etika memang sering terjadi di media Indonesia dalam pemberitaan masalah privasi. Jurnalis atau wartawan harus mematuhi Kode Etik Jurnalistik dalam semua kondisi dan semua kasus. Sudah mutlak jurnalis untuk bersikap berhati-hati, waspada serta mengontrol diri untuk menghormati batasan dan hak privasi dalam rangkaian proses pemberitaan juga peliputannya. Tanpa adanya sikap yang demikian, publik akan merasa terganggu dengan adanya pemberitaan yang berkenaan masalah privasi.
Jadi dalam dunia jurnalistik, ruang kebebasan hak privasi yang dimaksud disangkut pautkan dengan kegiatan sehari-hari dari warga tanpa adanya relevansi dengan kepentingan publik. Wartawan atau jurnalis sudah seharusnya secara prosedural melakukan verifikasi dan persetujuan dari sumber informasi untuk mewawancarainya. Walaupun memang mereka perlu untuk menggali informasi sedalam-dalamnya, tapi mereka tak bisa memaksakan kehendak untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan atau informasi dari sumbernya tersebut.(**)