Oleh : Gloriella Agatha Lubis
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jambi
TerabasNews – Generasi Z atau yang kerap disebut Gen Z merupakan generasi yang sangat dekat dengan teknologi. Terutama karena mereka bertumbuh dalam era globalisasi. Tak heran jika hidup mereka dipenuhi dengan berbagai budaya- budaya unik atau trend. Budaya atau trend yang ada ini didukung pula dengan adanya media sosial yang bisa dijangkau oleh semua orang dari segala penjuru. Jadi, suatu budaya atau trend yang ada semakin lebih mudah untuk dijangkau oleh siapa pun. Tentunya setiap mereka mempunyai keiinginan untuk mengikuti setiap trend-trend yang ada. Tidak peduli apakah itu bermanfaat atau tidak, jika trend tersebut bisa membuat mereka terlihat “wah” pasti akan dilakukan oleh mereka. Hal ini yang membuat gaya hidup anak yang lahir di tahun 1997-2012 ini menjadi lebih konsumtif. Namun, gaya hidup konsumtif inilah yang dapat menjadi pedang bermata dua bagi kehidupan mereka sendiri terutama dalam aspek keuangan.
Mengapa dikatakan gaya hidup konsumtif Gen Z dapat menjadi pedang bermata dua?
Memang, jika seseorang mengikuti suatu budaya yang sedang viral di media sosial pasti membuat diri mereka menjadi terlihat lebih keren dimata orang maupun penonton media sosial mereka. Baik saja jika keuangan orang tersebut mencukupi. Namun, bagaimana jika tidak? Bak kata pepatah “lebih besar pasak daripada tiang” Begitulah yang terjadi pada kalangan Gen Z saat ini akibat dari ciri khas hidup mereka.
Apa saja yang menjadi ciri khas hidup Gen Z? Berikut kita lihat beberapa contohnya. Pertama, ketergantungan pada teknologi. Di era saat ini, pengaruh dan manfaat teknologi memang tidak bisa dipungkiri, seperti belajar, bekerja, dan belanja. Namun, tidak semua orang bisa menggunakannya secara tepat sesuai kebutuhan. Banyak orang yang tergoda dengan iklan atau algoritma yang ada padahal itu tidak mereka butuhkan. Kedua, budaya konsumsi instan. Budaya atau trend yang bertebaran di platform media sosial baik TikTok maupun Instagram membuat orang lebih mudah untuk membeli atau memiliki barang tersebut tanpa memikirkan kegunaan atau efek jangka panjang dari barang tersebut. Misalnya yang terjadi beberapa waktu lalu. Terdapat boneka kecil labubu dengan harga jutaan rupiah yang mampu membuat banyak orang mulai dari kalangan muda hingga dewasa rela antri ber jam-jam hanya untuk mengikuti trend saja tanpa memikirkan manfaat dari boneka tersebut.
Selain itu, ada pula budaya YOLO “You Only Live Once” yakni jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “kamu hanya hidup sekali”. Ya, dengan adanya anggapan ini membuat mereka menjadi lebih mudah mengeluarkan uang untuk pengalaman yang menyenangkan dalam waktu pendek. Dapat kita lihat dari kebiasaan Gen Z yang sangat mudah mengeluarkan uang untuk nongkrong di kafe, menonton konser. Selain itu, ada juga budaya self reward yang harus dilakukan setiap bulan untuk menyenangkan diri dari semua kegiatan yang sudah dilalui. Sebenarnya, budaya ini tidak terlalu buruk, namun banyak sekali yang melakukannya secara terus-menerus sampai keuangan mereka menjadi sekarat. Keempat, tekanan media sosial. Ini sangat banyak terjadi di kalangan Gen Z, adanya rasa FOMO yaitu “Fear of Missing Out” yaitu rasa takut, cemas, ataupun khawatir jika ketinggalan akan sesuatu yang sedang viral di media sosial. Bahkan, sempat muncul istilah “kasih makan Instagram” dimana sesorang memposting sesuatu yang mahal hanya untuk di Instagram saja tetapi berbanding terbalik dengan kenyataannya. Gaya hidup seperti ini sebenarnya tidak terlalu menjadi hal yang serius bagi Gen Z apabila mereka berkecukupan. Namun, apabila ini terus menerus dilakukan bagi mereka yang secara finansial masih pas-pas an akan menjadi bahaya. Bahkan, penelitian menyebut bahwa Gen Z akan lebih susah kaya.
Mengapa gaya hidup konsumtif bisa menjadi bahaya?
Pertama, yaitu karena pendapatan tidak mencukupi. Banyaknya pengeluaran untuk gaya hidup tidak sebanding dengan pendapatan yang dimiliki tentu akan menjadi masalah besar. Bahkan, tidak sedikit orang yang mengorbankan kebutuhan primer hanya untuk membeli barang mewah. Kedua, kurangnya pemahaman mengelola keuangan. Masalah diatas menjadi contoh bahwa mereka kurang memahami bagaimana cara mengelola keuangan yang baik. Ketiga, terlilit pinjaman online maupun investasi bodong. Akibat gaya hidup yang terlalu tinggi, banyak orang yang tergoda untuk melakukan pinjaman online maupun investasi bodong. Hal ini didukung pula dengan munculnya teknologi baru seperti paylater dan tidak sedikit juga mereka yang tertipu dengan investasi bodong yang merugi dengan jumlah fantastis. Padahal hal-hal seperti inilah yang dapat merusak BI-Chekin Gen Z.
Dengan maraknya masalah finansial di kalangan Gen Z akibat gaya hidup, berikut strategi yang dapat diambil untuk tetap menjaga keseimbangan antara gaya hidup dan keuangan. Pertama, mengutamakan kebutuhan primer sebelum memenuhi keinginan, pastikan kebutuhan primer telah terpenuhi, seperti sandang, pangan, papan. Kedua, mengatur anggaran keuangan. Tips ini cukup efektif untuk mengoptimalkan keuangan dengan menggunakan metode berikut: 50% untuk kebutuhan ( makanan, pakaian, tempat tinggal, transportasi), 30% untuk keinginan ( hiburan, hobi, belanja), 20% untuk tabungan dan investasi. Ketiga, membuat laporan keuangan. Laporan keuangan ini bermanfaat untuk mengetahui seberapa besar uang yang dikeluarkan untuk kebutuhan, keinginan, maupun investasi. Melalui laporan keuangan juga dapat diketahui apakah pemasukan lebih besar dibanding dengan pengeluaran atau malah sebaliknya. Keempat, membuat tabungan darurat. Pengeluaran keuangan terkadang bukan hanya untuk kebutuhan dan keinginan saja. Ada suatu masa dimana suatu hal terjadi dan memerlukan uang yang tidak sedikit. Oleh karena itu, masyarakat khususnya Gen Z diharapkan untuk membuat tabungan darurat agar dapat dipakai apabila suatu saat diperlukan. Kelima, mulai investasi. Gen Z dapat memulai dengan investasi yang pasti seperti reksadana ataupun emas. Pastikan investasi yang ingin dijalani bukan investasi yang bodong. Terakhir, kurangi bermain media sosial. Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk bermain media sosial, semakin besar godaan untuk membeli tawaran yang tersedia di media sosial. Maka, kurangi waktu untuk bermain media sosial yang tidak penting. Waktu luang yang ada dapat digunakan untuk hal-hal positif seperti belajar, mengasah skill, dan lain-lain. Tidak lupa pula hal yang harus ditinggalkan yaitu menormalisasi penggunaan paylater. Paylater tidak terlalu baik untuk kalangan Gen Z terutama baagi mereka yang belum memiliki penghasilan tetap.
Mengelola keuangan di era saat ini bagi Gen Z memang bukanlah hal yang mudah. Selain kebutuhan yang serba mahal terdapat juga pilihan-pilihan untuk gaya hidup. Maka, strategi di atas diharapkan dapat menjadi jawaban bagi Gen Z dalam menghadapi tantangan untuk menjaga keseimbangan keuangan. Menjaga keseimbangan keuangan sejak dini adalah kunci kenikmatan di masa depan. (**)
TerabasNews, Pangkalpinang, (11/24) — Dalam rangka mendukung transisi energi bersih dan mendorong adopsi kendaraan listrik…
TerabasNews, Pangkalpinang – PT Timah Tbk menerima penghargaan dari BPJS Ketenagakerjaan sebagai Perusahaan dengan Kepedulian…
TerabasNews, Bangka Tengah – Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Ahmad Riza Patria turut…
TerabasNews, Bangka Tengah -- Program Makan Bergizi bagi para pelajar yang dilaksanakan PT Timah terus…
TerabasNews, PANGKALPINANG - Tiba di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Kep. Babel) Wakil Menteri Desa, Pembangunan…
TerabasNews, PANGKALAN BARU - Wakil Menteri Desa (Wamendes) dan PDTT Ahmad Riza Patria melakukan kunjungan…